Oleh
: Rino Susilo
Munculnya pandemi COVID-19 (Coronavirus Disease
2019) telah mengguncang seluruh wilayah Indonesia bahkan dunia yang tak
kunjung usai dan belum ditemukan obatnya hingga saat ini. Pemerintah menyerukan
aturan-aturan kebijakan dengan istilah sosial distancing hingga PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar). Masyarakat diminta untuk berdiam diri
dirumah (stay at home), siswa belajar dari rumah (study at home), kerja dari rumah (work from
home), dan berdoa dari rumah (pray at home). Namun kebijakan ini
tidak sedikit dari masyarakat yang menentangnya. Banyak dari masyarakat yang
mengeluh karena sumber penghasilannya memaksakan mereka harus keluar rumah
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya yang sekolah karena memerlukan
kuota internet. Misalnya saja dilansir dari radarbali.jawapos.com wisatawan
mancanegara yang datang minus 99,93 % pada bulan April 2020 dibandingkan dengan
bulan Maret 2020. Bali yang menjadi salah satu pendorong perekonomian menurun
drastis yang sebelumnya ramai wisatawan datang dari berbagai negara nampak
terlihat sangat sepi. Sehingga pedagang kehilangan pembeli. Seruan beribadah
dari rumah juga menjadi permasalahan karena dianggap dapat mengurangi kadar
keimanan. Pemandangan-pemandangan kegiatan umat beragama terlihat berbeda dari
sebelumnya, tempat-tempat ibadah terlihat seakan-akan tidak memiliki umat. Tempat
perziarahan besar seperti Ka’bah yang
tiba-tiba sepi bahkan suatu hari tertentu Ka’bah menjadi kosong tak memiliki
pengunjung. Untuk mengatasi permasalahan ini akhirnya pemerintah memutuskan kebijakan
baru yaitu dengan melaksanakan tatanan kehidupan yang berbasis adaptasi untuk
membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat dengan rajin berolahraga agar
menjaga imun tubuh, sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun, keluar rumah
harus memakai masker, dan menghindari kerumunan orang. Hal inilah yang kemudian
disebut dengan era new normal atau normal baru
Walaupun demikian, pemandangan awan mendung yang
berarak masih membawa tangis resah dan juga lapisan ozon semakin menipis dari
hari demi hari tergerus oleh waktu akibat ulah sang penguasa nafsu material
yang tidak mau bersahabat dengan alam. Hal ini telah memperlihatkan kondisi
bumi sedang mengalami masalah. Tanpa disadari bersama, dalam kondisi pandemi COVID-19
ini telah menyadarkan bahwa sebagai umat beragama harus menjalankan dharma yang
baik agar lebih dekat kepada Sang Pencipta. Semua agama terkena dampak dari
wabah ini dan sudah saatnya diperlukaan sebuah moderasi beragama guna
bersama-sama menghadapinya. Patut dipahami bahwa dari segala bentuk ujian yang
mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan manusia, pasti menyimpan dampak
positif . Nampaknya dalam ajaran agama Hindu istilah Rwa Bhineda kembali
digunakan. Oleh karena itu, inilah yang perlu diselami lebih dalam lagi apa
manfaat dari segi positifnya yang dapat diperoleh.
Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama
memiliki arti sistem yang mengatur tata keimanan (Kepercayaan) dan peribadatan
kepada T uhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Ada sebuah tuntunan untuk
membimbing umat manusia agar menjalankan suatu tatanan kehidupan guna mencapai
keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia
dengan lingkungan. Itulah yang disebut dengan ajaran Tri Hita Karana
dalam kitab suci Hindu dan tentunya setiap penganut kepercayaan mimiliki
tuntunan dengan kitab sucinya masing-masing yang menjadikan hal mutlak bagi
pemeluknya.
Agama Hindu adalah agama yang kental dengan banten dan
upacara . Jadi tidak heran jika segala bentuk kegiatan keagamaan pasti
menggunakan banten dan upacara yang besar guna menunjukkan bukti rasa bhakti
kepada Tuhan yang telah memberikan
anugrah dan karunia yang tiada batasnya. Namun dalam kondisi pandemi seperti
ini, menyebabkan ekonomi semakin mencekik. Kebutuhan finansial semakin tinggi yang
tidak seimbang dengan penghasilan. Kegiatan upacara yang besar jarang terlihat
lagi dan terlihat seolah-olah semakin tidak relevan lagi jika upacara besar
dilaksanakan. Virus Corona seperti mengajarkan kembali konsep Tiga Kerangka Dasar
agama Hindu yaitu Tattwa , Susila dan Upacara harus berjalan
dengan seimbang. Tingkatan yadnya yaitu Nista Yadnya, Madya Yadnya dan
Utama Yadnya penting sekali dipahami untuk menyesuaikan kondisi pandemi
seperti ini. Disadari atau tidak, mau tidak mau selama ini umat Hindu terjebak
pada banten dan upacara saja. Terkesan memaksakan jika semestinya tidak mampu
dilakukan. Fenomena-fenomena diluar nalar yang menyebabkan kegaduhan pasti
dikaitkan dengan Niskala yang berhubungan dengan upacaranya. Padahal
dalam hal ini tidak ada yang salah dengan upacaranya. Dilihat dari segi
pemahaman susila, bahwa segala bentuk fenomena ini adalah ulah dari
karma atau tingkah laku yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Tanah longsor
terjadi karena manusia yang mengikuti nafsunya untuk menebang pohon
sembarangan. Banjir tidak akan terjadi jika manusia mau menjaga alam dengan
baik dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak membangun pemukiman
dipinggir sungai, dan perbuatan-perbuatan lain yang merugikan alam. Manusia
akan terhindar dari virus corona jika mereka mau bersama-sama patuh dan taat
pada aturan-aturan pemerintah. Selalu menjaga jarak jika berkumpul dengan orang
banyak, mencuci tangan sesering mungkin, dan selalu menggunakan masker. Kalau
seseorang terdidik sampai kesadaran dalam beragama dan bertindak secara tegas
menurut prinsip kesusilaan, maka orang
tersebut tergolong orang yang sangat cerdas dalam beragama. Atas dasar tattwa
yang diyakini sebagai umat Hindu, penting sekali untuk selalu mencakupkan
tangan dan rajin bersembahyang kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Melaksanakan puja Tri
Sandya dengan tulus serta memohon perlindungan dan keselamatan, astungkara
dengan cara seperti ini diharapkan wabah COVID-19 cepat berlalu.
Proses memahami serta mengamalkan ajaran-ajaran sastra
suci dalam kondisi pandemi COVID-19 harus dilaksanakan dengan benar. Suasana
pikiran yang tulus dalam pelayanan bhakti harus ditingkatkan agar tidak
menyimpang dari ajaran dharma. Maka dari itu diperlukan sebuah moderasi beragama
atau pandangan yang tidak berlebihan untuk mendukung pelaksanaan dharma di era new
normal. Mengingat tujuan agama Hindu adalah moksartham jagadhita ya ca
iti dharma yang artinya tujuan hidup yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan di
dunia maupun di alam moksa (Bersatunya atman dengan Brahman). Oleh sebab itu
pelepasan ikatan duniawi perlu ditanam
dalam jiwa(atman) sejak dini agar terus merasakan kebahagiaan rohani. Ada hal
yang sangat relevan harus dilakukan dalam moderasi beragama Hindu di era new
normal yang dikutip dalam sastra suci weda:
Bhagawad Gita X.25
Maharsinam bhrgur aham
Giram asmy ekam aksaram
Yajnanam japa yajno smi
Sthavaranam himalayah
Artinya :
Di
antara maharsi Aku adalah Bhrgu; di antara ucapan suci, Aku adalah Omkara; Di
antara yajna, Aku adalah Japa mantra , di antara benda-benda tak bergerak Aku
adalah Himalaya.
Jika diperhatikan tanpa berspekulasi, dengan jelas sloka
tersebut mengatakan “ Di antara yajna, Aku adalah Japa mantra ”. Jelas bahwa di
antara korban-korban suci yajna Aku (Tuhan Yang maha Esa) adalah ucapan-ucapan
nama-nama suci Tuhan atau Japa. Bhagawad Gita menegaskan bahwa diantara segala
jenis korban suci, pengucapan nama-nama suci itulah yang paling utama. Proses
pengucapan nama-nama suci Tuhan yaitu dengan menggunakan rudraksa atau kayu tulasi/neem.
Nama-nama suci Tuhan yang dapat diucapkan secara berulang-ulang seperti om nama siwaya, om namo bhagawate vasudevaya.Om
namo Narayana ya, Om sri laksmi, dan
masih banyak lagi nama kepribadian agung yang dapat diucapkan sesuai dengan
rasa atau kepuasan untuk meningkatkan rasa bhakti /ikatan kuat kepada Tuhan dan
mencapai kebahagiaan rohani. Selain itu dalam Manawa Dharma Sastra IV.23 juga
menyebutkan “ Yang mengetahui bahwa yajna yang dilakukan dalam ucapan dan dalam
nafas mereka akan memberi pahala yang tak terhancurkan; dan yang selalu
mempersembahkan nafas mereka dalam ucapan mereka dan ucapan-ucapan pada nafas
mereka ”. Dalam Bhagawata Purana, Naradya Purana dan masih banyak lagi
sastra-sastra suci weda yang menegaskan pentingnya mengucapkan nama suci Tuhan.
Kembali dugaan umat Hindu yang hanya fokus pada yadnya-yadnya saja yang
diutamakan. Oleh karena itu sloka-sloka tersebut merupakan solusi untuk
menjawab pelaksanaan dharma yang relevan pada masa pandemi COVID-19 ini.
Melihat momentum perubahan besar dalam kegiatan
beragama, membiasakan diri dengan upacara yadnya yang sederhana tanpa
mengurangi kualitasnya. Mulai berpandangan bahwa pentingnya moderasi beragama Hindu
yaitu tidak hanya dengan banten dan upacara-upacara saja, namun harus seimbang dengan
meningkatkan tattwa membaca kitab suci itu sangat penting dilakukan agar umat Hindu
memiliki acuan atau tuntunan dalam menghadapi masalah-masalah yang ada. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan disebut dengan kebahagiaan rohani,
walaupun barangkali diperlihatkan dengan berbagai cara namun tujuannya tetap
sama. Oleh karena itu, Tuhan sudah memberikan wahyu suci yang tertulis pada
sastra suci weda dengan murah hati menuntun umat-Nya serta menjaga mereka agar
tetap pada jalan yang progresif untuk kembali pulang kepada Tuhan.
Daftar
Referensi
Gede Pudja. Bhagawad Gita. Hal 261
Gede Pudja. Manawa Dharma Sastra(Weda
Smerti). Hal 122
KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Suwanto, A. (2020, Juni Minggu). Potensi Resesi
Ekonomi Bali Akibat pandemi Covid-19. Retrieved from
radarbali.jawapos.com:
https://radarbali.jawapos.com/read/2020/06/28/201361/potensi-resesi-ekonomi-bali-akibat-pandemi-covid-19/diakses
pada tanggal 14 November 2020
No comments:
Post a Comment