Friday 1 January 2021

MOMENTUM PELAKSANAAN MODERASI BERAGAMA HINDU PADA MASA PANDEMI COVID-19

 

Oleh : Rino Susilo


Munculnya pandemi COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) telah mengguncang seluruh wilayah Indonesia bahkan dunia yang tak kunjung usai dan belum ditemukan obatnya hingga saat ini. Pemerintah menyerukan aturan-aturan kebijakan dengan istilah sosial distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Masyarakat diminta untuk berdiam diri dirumah (stay at home), siswa belajar dari rumah (study at  home), kerja dari rumah (work from home), dan berdoa dari rumah (pray at home). Namun kebijakan ini tidak sedikit dari masyarakat yang menentangnya. Banyak dari masyarakat yang mengeluh karena sumber penghasilannya memaksakan mereka harus keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya yang sekolah karena memerlukan kuota internet. Misalnya saja dilansir dari radarbali.jawapos.com wisatawan mancanegara yang datang minus 99,93 % pada bulan April 2020 dibandingkan dengan bulan Maret 2020. Bali yang menjadi salah satu pendorong perekonomian menurun drastis yang sebelumnya ramai wisatawan datang dari berbagai negara nampak terlihat sangat sepi. Sehingga pedagang kehilangan pembeli. Seruan beribadah dari rumah juga menjadi permasalahan karena dianggap dapat mengurangi kadar keimanan. Pemandangan-pemandangan kegiatan umat beragama terlihat berbeda dari sebelumnya, tempat-tempat ibadah terlihat seakan-akan tidak memiliki umat. Tempat perziarahan besar seperti  Ka’bah yang tiba-tiba sepi bahkan suatu hari tertentu Ka’bah menjadi kosong tak memiliki pengunjung. Untuk mengatasi permasalahan ini akhirnya pemerintah memutuskan kebijakan baru yaitu dengan melaksanakan tatanan kehidupan yang berbasis adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat dengan rajin berolahraga agar menjaga imun tubuh, sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun, keluar rumah harus memakai masker, dan menghindari kerumunan orang. Hal inilah yang kemudian disebut dengan era new normal atau normal baru

Walaupun demikian, pemandangan awan mendung yang berarak masih membawa tangis resah dan juga lapisan ozon semakin menipis dari hari demi hari tergerus oleh waktu akibat ulah sang penguasa nafsu material yang tidak mau bersahabat dengan alam. Hal ini telah memperlihatkan kondisi bumi sedang mengalami masalah. Tanpa disadari bersama, dalam kondisi pandemi COVID-19 ini telah menyadarkan bahwa sebagai umat beragama harus menjalankan dharma yang baik agar lebih dekat kepada Sang Pencipta. Semua agama terkena dampak dari wabah ini dan sudah saatnya diperlukaan sebuah moderasi beragama guna bersama-sama menghadapinya. Patut dipahami bahwa dari segala bentuk ujian yang mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan manusia, pasti menyimpan dampak positif . Nampaknya dalam ajaran agama Hindu istilah Rwa Bhineda kembali digunakan. Oleh karena itu, inilah yang perlu diselami lebih dalam lagi apa manfaat dari segi positifnya yang dapat diperoleh.

Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama memiliki arti sistem yang mengatur tata keimanan (Kepercayaan) dan peribadatan kepada T uhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Ada sebuah tuntunan untuk membimbing umat manusia agar menjalankan suatu tatanan kehidupan guna mencapai keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Itulah yang disebut dengan ajaran Tri Hita Karana dalam kitab suci Hindu dan tentunya setiap penganut kepercayaan mimiliki tuntunan dengan kitab sucinya masing-masing yang menjadikan hal mutlak bagi pemeluknya.

Agama Hindu adalah agama yang kental dengan banten dan upacara . Jadi tidak heran jika segala bentuk kegiatan keagamaan pasti menggunakan banten dan upacara yang besar guna menunjukkan bukti rasa bhakti kepada Tuhan  yang telah memberikan anugrah dan karunia yang tiada batasnya. Namun dalam kondisi pandemi seperti ini, menyebabkan ekonomi semakin mencekik. Kebutuhan finansial semakin tinggi yang tidak seimbang dengan penghasilan. Kegiatan upacara yang besar jarang terlihat lagi dan terlihat seolah-olah semakin tidak relevan lagi jika upacara besar dilaksanakan. Virus Corona seperti mengajarkan kembali konsep Tiga Kerangka Dasar agama Hindu yaitu Tattwa , Susila dan Upacara harus berjalan dengan seimbang. Tingkatan yadnya yaitu Nista Yadnya, Madya Yadnya dan Utama Yadnya penting sekali dipahami untuk menyesuaikan kondisi pandemi seperti ini. Disadari atau tidak, mau tidak mau selama ini umat Hindu terjebak pada banten dan upacara saja. Terkesan memaksakan jika semestinya tidak mampu dilakukan. Fenomena-fenomena diluar nalar yang menyebabkan kegaduhan pasti dikaitkan dengan Niskala yang berhubungan dengan upacaranya. Padahal dalam hal ini tidak ada yang salah dengan upacaranya. Dilihat dari segi pemahaman susila, bahwa segala bentuk fenomena ini adalah ulah dari karma atau tingkah laku yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Tanah longsor terjadi karena manusia yang mengikuti nafsunya untuk menebang pohon sembarangan. Banjir tidak akan terjadi jika manusia mau menjaga alam dengan baik dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak membangun pemukiman dipinggir sungai, dan perbuatan-perbuatan lain yang merugikan alam. Manusia akan terhindar dari virus corona jika mereka mau bersama-sama patuh dan taat pada aturan-aturan pemerintah. Selalu menjaga jarak jika berkumpul dengan orang banyak, mencuci tangan sesering mungkin, dan selalu menggunakan masker. Kalau seseorang terdidik sampai kesadaran dalam beragama dan bertindak secara tegas menurut prinsip kesusilaan,  maka orang tersebut tergolong orang yang sangat cerdas dalam beragama. Atas dasar tattwa yang diyakini sebagai umat Hindu, penting sekali untuk selalu mencakupkan tangan dan rajin bersembahyang kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Melaksanakan puja Tri Sandya dengan tulus serta memohon perlindungan dan keselamatan, astungkara dengan cara seperti ini diharapkan wabah COVID-19 cepat berlalu.

Proses memahami serta mengamalkan ajaran-ajaran sastra suci dalam kondisi pandemi COVID-19 harus dilaksanakan dengan benar. Suasana pikiran yang tulus dalam pelayanan bhakti harus ditingkatkan agar tidak menyimpang dari ajaran dharma. Maka dari itu diperlukan sebuah moderasi beragama atau pandangan yang tidak berlebihan untuk mendukung pelaksanaan dharma di era new normal. Mengingat tujuan agama Hindu adalah moksartham jagadhita ya ca iti dharma yang artinya tujuan hidup yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia maupun di alam moksa (Bersatunya atman dengan Brahman). Oleh sebab itu pelepasan ikatan duniawi  perlu ditanam dalam jiwa(atman) sejak dini agar terus merasakan kebahagiaan rohani. Ada hal yang sangat relevan harus dilakukan dalam moderasi beragama Hindu di era new normal yang dikutip dalam sastra suci weda:

Bhagawad Gita X.25

Maharsinam bhrgur aham

Giram asmy ekam aksaram

Yajnanam japa yajno smi

Sthavaranam himalayah

Artinya :

Di antara maharsi Aku adalah Bhrgu; di antara ucapan suci, Aku adalah Omkara; Di antara yajna, Aku adalah Japa mantra , di antara benda-benda tak bergerak Aku adalah Himalaya.

Jika diperhatikan tanpa berspekulasi, dengan jelas sloka tersebut mengatakan “ Di antara yajna, Aku adalah Japa mantra ”. Jelas bahwa di antara korban-korban suci yajna Aku (Tuhan Yang maha Esa) adalah ucapan-ucapan nama-nama suci Tuhan atau Japa. Bhagawad Gita menegaskan bahwa diantara segala jenis korban suci, pengucapan nama-nama suci itulah yang paling utama. Proses pengucapan nama-nama suci Tuhan yaitu dengan menggunakan rudraksa atau kayu tulasi/neem. Nama-nama suci Tuhan yang dapat diucapkan secara berulang-ulang seperti om  nama siwaya, om namo bhagawate vasudevaya.Om namo Narayana ya,  Om sri laksmi, dan masih banyak lagi nama kepribadian agung yang dapat diucapkan sesuai dengan rasa atau kepuasan untuk meningkatkan rasa bhakti /ikatan kuat kepada Tuhan dan mencapai kebahagiaan rohani. Selain itu dalam Manawa Dharma Sastra IV.23 juga menyebutkan “ Yang mengetahui bahwa yajna yang dilakukan dalam ucapan dan dalam nafas mereka akan memberi pahala yang tak terhancurkan; dan yang selalu mempersembahkan nafas mereka dalam ucapan mereka dan ucapan-ucapan pada nafas mereka ”. Dalam Bhagawata Purana, Naradya Purana dan masih banyak lagi sastra-sastra suci weda yang menegaskan pentingnya mengucapkan nama suci Tuhan. Kembali dugaan umat Hindu yang hanya fokus pada yadnya-yadnya saja yang diutamakan. Oleh karena itu sloka-sloka tersebut merupakan solusi untuk menjawab pelaksanaan dharma yang relevan pada masa pandemi COVID-19 ini.

Melihat momentum perubahan besar dalam kegiatan beragama, membiasakan diri dengan upacara yadnya yang sederhana tanpa mengurangi kualitasnya. Mulai berpandangan bahwa pentingnya moderasi beragama Hindu yaitu tidak hanya dengan banten dan upacara-upacara saja, namun harus seimbang dengan meningkatkan tattwa membaca kitab suci itu sangat penting dilakukan agar umat Hindu memiliki acuan atau tuntunan dalam menghadapi masalah-masalah yang ada. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan disebut dengan kebahagiaan rohani, walaupun barangkali diperlihatkan dengan berbagai cara namun tujuannya tetap sama. Oleh karena itu, Tuhan sudah memberikan wahyu suci yang tertulis pada sastra suci weda dengan murah hati menuntun umat-Nya serta menjaga mereka agar tetap pada jalan yang progresif untuk kembali pulang kepada Tuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Referensi

 

Gede Pudja. Bhagawad Gita. Hal 261

Gede Pudja. Manawa Dharma Sastra(Weda Smerti). Hal 122

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Suwanto, A. (2020, Juni Minggu). Potensi Resesi Ekonomi Bali Akibat pandemi Covid-19. Retrieved from radarbali.jawapos.com: https://radarbali.jawapos.com/read/2020/06/28/201361/potensi-resesi-ekonomi-bali-akibat-pandemi-covid-19/diakses pada tanggal 14 November 2020